JURNALISTIK
Pengertian Jurnalistik
Kegiatan jurnalistik sebenarnya telah lama dikenal manusia di dunia ini. Betapa tidak, kegiatan dimaksud selalu hadir di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan kegiatan pergaulan hidupnya yang dinamis, terutama sekali dalam masyarakat modern sekarang ini.
Kita ambil contoh kegiatan jurnalistik dari sejarah perdaban manusia. Kita kenal orang Yunani, beribu tahun sebelum Masehi, menggunakan nyala obor sebagai isyarat yang dapat dilihat oleh rekannya yang berada jauh dari tempatnya. Orang-orang Indian menggunakan asap untuk mengirimkan informasi kepada rekan-rekannya yang berada jauh.
Orang pun mengorek sepotong batang kayu agar berbunyi bila ditabuh, dan bunyinya dapat didengar dari jauh. Alat itu pun digunakan untuk memberitahukan sesuatu kejadian atau menyampaikan informasi yang perlu diperhatikan semua atau segolongan orang.
Dari beberapa contoh tadi kiranya bisa dipahami, bahwa kegiatan jurnalistik itu lahir karena adanya kehendak manusia untuk menyampaikan atau memberitahukan peristiwa, data, informasi maupun fakta yang ia temukan kepada orang lain atau penerusnya. Demikian pula filosofi lain mengatakan, bahwa jurnalistik merupakan upaya membuat semua orang menjadi tahu apa yang belum diketahuinya.
Melalui kacamata kemasyarakatan atau sosiologi, gejala demikian merupakan sifat yang wajar pada manusia sebagai makhluk sosial, di mana pun dirinya berada selalu ada rasa ingin melakukan sosialisasi dengan lingkungannya.
Dalam pengalaman kehidupannya, manusia selalu dipengaruhi oleh empat faktor sosialisisi, yaitu hereditas (warisan biologis), warisan sosial, lingkungan hidup, dan kelompok (Polak, 1974:13).
Manusia memperoleh hereditas dalam bentuk bakat untuk belajar dan mengajar yang berfungsi sebagai pertumbuhan kebudayaannya. Kebudayaan tercipta karena adanya pengembangan bakat manusia yang terpenting, yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya, yakni berbicara. Melalui bicara, manusia memberitahukan hal-hal yang baru dalam pengalamanannya kepada rekannya. Dengan bicara pula manusia mencari tahu hal-hal yang ingin diketahuinya dari rekannya.
Dengan bakat untuk belajar itu pula daya pikir manusia berkembang makin maju sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka alami dan hadapi. Kebudayaan pun tumbuh sehingga dapat membentuk dirinya sesuai dengan alam lingkungan sekitarnya. Ini berarti manusia dapat berpikir atas pengaruh yang diperoleh dari situasi dan kondisi alam lingkungannya. Mereka berpikir dan menciptakan suatu budaya yang cocok dengan alam sekitarnya.
Dengan perkembangan manusia itu, warisan sosial diperolehnya melalui interaksi dengan para tetangga, kawan sepermainan, masyarakat sekitar, dan sebagainya. Dalam lingkungan kelompoknya ia dihadapkan pada benda-benda, anggapan-anggapan, problem-problem, nilai-nilai, dan sebagainya.
Dengan kegiatan interaksi itu, manusia menyampaikan pesan berupa buah pikiran, gagasan, ataupun pernyataan lainnya yang bisa mempengaruhi manusia lainnya untuk tujuan tertentu. Sesuai dengan perkembangan bakat untuk belajar tadi, pesan yang disampaikan manusia pun tidak lagi terbatas pada bicara, melainkan juga menggunakan lambang-lambang lainnya yang dinyatakan dalam bentuk tulisan, gambar, isyarat, gerak, dan sebagainya.
Kadang beberapa jenis pernyataan tersebut dipadukan menjadi satu paket pesan sesuai dengan tujuan si penyampainya. Apabila pesan dimaksud ditujukan untuk menyajikan berita tentang kegiatan dan atau peristiwa yang terjadi sehari-hari kepada umum, maka itulah pengolahan pesan yang selama ini kita sebut jurnalistik. Sedangkan penyampaian pesan itu sendiri kepada umum dikenal sebagai proses komunikasi.
Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, communicare, yang berarti “memberitahukan” atau “berpartisipasi”. Selain itu, dalam bahasa Latin pula kita mengenal istilah communi yang bermakna ‘milik bersama’ atau ‘berlaku di mana-mana’. Dalam bahasa Inggris pun dikenal istilah communication yang secara denotatif berarti hubungan, kabar, atau pemberitahuan. Secara konotatif, dapat diartikan sebagai “suatu proses pemberitahuan yang mengarah pada terwujudnya persamaan makna terhadap apa yang diberitahukan itu”.
Carl Hovland, yang dikenal sebagai “Bapak Komunikasi”, melalui bukunya, Social Communication, mendefinisikan komunikasi sebagai proses di mana seseorang insan (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya berupa lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku insan-insan lainnya (komunikan). Jelasnya ia mengatakan bahwa communication is the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usualy verbal symbols) to modify the behavior of other individuals (the communicatees).
Harold Lasswell melalui tulisannya “The Structure and Function of Communication in Society” dalam Wilbur Schramm, Mass Communication, memberikan paradigma yang menyatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab pertanyaan: who says what in which channel to whom whit what effect? Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media, yang menimbulkan efek (akibat) tertentu.
Dari kedua pendapat itu bisa dilihat adanya unsur-unsur yang terlibat dalam proses komunikasi itu, yakni: komunikator, komunikan, pesan media, dan efek (akibat). Sedangkan menurut Wilbur Schramm dalam bukunya melalui bukunya, How Communication Works (Onong, 1973: 39) mengatakan bahwa komunikasi selalu menghendaki adanya paling sedikit tiga unsur: sumber (source), pesan (massage), dan sasaran (destination).
Sumber dapat merupakan perorangan (seseorang yang sedang berbicara, menulis, menggambar, melakukan suatu gerak-gerik) atau sebuah organisasi komunikasi (seperti surat kabar, biro publikasi, studio televisi, studio radio, studio film, dan sebagainya).
Pesan atau massage dapat berwujud tinta di atas kertas, gelombang radio di udara, daya tekan dalam aliran listrik, lambaian tangan, kibaran bendera, atau tanda-tanda lain yang bila ditafsirkan mempunyai arti tertentu. Sasaran dapat merupakan seorang yang sedang mendengarkan, memperhatikan, atau membaca, bisa juga berupa para anggota kelompok diskusi, hadirin yang sedang mendengarkan ceramah, penonton sepakbola, anggota gerombolan (mob), atau anggota kelompok khusus yang kita sebut massa (mass audience) seperti pembaca surat kabar atau penonton televisi.
Dari sisi lain. Adinegoro (1966: 26) melihat adanya sumber informasi yang menjadi bahan bagi komunikator untuk membuat pesan yang akan dinyatakannya. Selain itu, Adinegoro menegaskan bahwa seseorang mengemukakan pernyataannya karena ada maksud-maksud tertentu.
Setiap peristiwa, fakta, dan data yang ada di alam semesta ini selalu menarik perhatiain komunikator yang adalah manusia itu sendiri. Karena manusia merupakan makhluk sosial yang selalu ingin mengetahui segala hal yang ada di sekitarnya dan ingin menyampaikan segala isi hati atau buah pikirannya, maka segala realita yang ada di sekitarnya atau ada hubungan dengan kepentingannya selalu menjadi perhatiannya.
Semua realita tersebut diterima atau diminati pancainderanya sehingga memberikan kesan pada otaknya. Kemudian otak mengolah kesan tersebut dengan menyadikannya (to encode) ke dalam bentuk buah pikiran yang diwujudkannya berupa pernyataan. Karena itu pula Wilbur Schramm (1954: 110) menyebut komunikator sebagai encoder.
Sedangkan Adinegoro (1963:11) menyatakan bahwa buah pikiran hasil karya otak itu merupakan gambaran realita di alam semesta yang dipindahkan dari dunia nyata ke dunia khayal. Segala realita dari benda, gejala, atau keadan alam semesta itu dipindahkan atau diterjemahkan dari dunia konkrit ke dunia abstrak. Adapun proses pemindahan atau penerjemahan dimaksud tiada lain adalah proses penyandian yang dimaksudkan oleh Wilbur Schramm tadi.
Pernyataan itu, yang menurut Adinegoro tergolong dalam jenis tulisan, lisan, gambar, isyarat, gerakan, dan lambang tadi, selanjutnya diramu menjadi suatu paket pesan. Pesan yang disampaikan tersebut mengacu kepada tujuan tertentu dari si komunikator. Apabila sampai pada sasaran atau komunikan (decoder) melalui media (sarana penyaluran) denga tujuan tertentu dari komunikator, pesan itu akan ditafsirkan komunika serta dipertimbangkan penerimaan atau penolakannya. Atas penerimaan atau penolakannya itu, komunikan menunjukkan perubahan, dalam arti akibat (efek) datangnya pesan atau komunikasi tadi.
Dalam hal ini tampak ada akibat yang sama dengan tujuan (berubah ke arah yang dikehendaki komunikator), dan ada pula yang tidak sama dengan tujuan (perubahan tidak dikehendaki komunikator). Kalau hal tersebut terjadi, si komunikator akan mengubah pesannya kembali sedemikian rupa sehingga pesan gantinya itu bisa diterima (mempengaruhi) komunikan sesuai dengan yang diinginkannya. Demikian seterusnya, komunikasi itu berjalan hingga dicapai titik kesamaan makna terhadap pesan yang disampaikan komunikatornya, Wilbur Schramm mengatakan bahwa komunikasi itu berhasil (well tuned).
Dari proses terjadinya komunikasi itu, dijelaskan bahwa proses komunikasi itu berlangsung dengan melibatkan tujuh unsur komunikasi, yaitu: sumber, komunikator, pesan, media, komunikan, tujuan, dan akibat.
Tergolong ke dalam pesan komunikasi, kita temukan antara lain apa yang disebut produk jurnalistik, berupa pemberitahuan melalui media cetak atau media elektronik. Dengan demikian komunikasi jurnalistik merupakan karya yang dibentuk komunikator sebagai upaya mencapai tujuan komunikasinya. Dengan kata lain, produk jurnalistik dibentuk melalui suatu keterampilan atau seni yang disebut jurnalistik dengan tujuan mempengaruhi komunikan (khalayak) sesuai dengan kehendak komunikator.
Jurnalistik merupakan salah satu bentuk karya atau keterampilan manusia dalam berkomunikasi, sedangkan komunikasi merupakan karsa manusia itu sendiri. Onong Uchjana Effendy (1984: 10) menggolongkan jurnalistik sebagai salah satu metode komunikasi, yaitu suatu keterampilan atau seni dalam upaya mencapai tujuan komunikasi (apa yang dicita-citakan komunikator).
Dari segi perkembangannya para pakar sejarah mencatat bahwa kegiatan jurnalistik dimulai pada zaman jayanya kerajaan Romawi kuno, saat di bawah kekuasaan Raja Julius Caesar. Pada masa itu kegiatan jurnalistik dilakukan oleh para budak belian yang disuruh majikannya mengutip informasi tentang segala peristiwa waktu itu hari itu, yang berkaitan dengan status majikannya dan dimuat (diberitakan) dalam acta diuna yang dipasang di Forum Romanum (Stadion Romawi).
Semula tugas ini dilaksanakan hanya untuk kepentingan majikannya semata. Namun demi kebutuhan masyarakat lainnya akan berita, atas prakarsa budak belian itu pula kutipannya diperbanyak untuk dijual kepada mereka yang memerlukannya. Biasanya para budak belian yang melakukan perkerjaan itu disebut diurnarius (dalam arti tunggal) atau diurnarii (dalam arti jamak).
Jadi, boleh dikatakan bahwa istilah jurnalis berasal dari diurnarius atau diurnarii, yang artinya orang yang mencari dan mengolah (mengutip dan memperbanyak) informasi dan untuk kemudian dijual kepada mereka yang membutuhkannya. Dengan demikian, istilah jurnalistik mengandung pengertian keterampilan atau karya seni para jurnalis, dalam arti mencari (informasi), memilih dan mengumpulkan (bahan berita), serta mengolah (naskah) berita untuk memenuhi kebutuhan khalayaknya.
Dari pengertian tadi, yaitu menurut kacamata etimologi, komunikasi, dan sejarah perkembangannya, disimpulkan bahwa di dalam istilah jurnalistik terkandung makna sebagai suatu seni atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi dalam bentuk berita secara indah agar dapat diminati dan dinikmati sehingga bermanfaat bagi segala kebutuhan pergaulan hidup khalayak.
Agama Islam telah mengajarkan manusia wajib berkomunikasi dengan Allah Swt dan dengan sesamanya (Al-Quran [3]: [112]) serta wajib mengajak (mempengaruhi) manusia agar berbuat amal ma’ruf nahi mungkar (Al-Quran [3]: 104 dan 110). Bahkan konotatif dari pemberitahuan pun dijelaskan Allah Swt dalam Al-Quran sebagai kewajiban untuk saling tolong menolong dalam kebaikan (Al-Quran [5]: 2).
Lebih tegas lagi, Nabi Besar Muhammad Saw beramanah kepada umatnya agar selalu menyampaikan informasi walaupun hanya sepotong ayat (Hadist riwayat Muslim). Dari ajaran tersebut menunjukkan bahwa jurnalistik merupakan kewajiban bagi semua umat di dunia ini.
Definisi Jurnalistik
Definisi yang tepat dapat dijadikan titik tolak atau pedoman berfikir dalam memahami aspek yang terkait dengan apa yang disebut jurnalistik itu. Adinegoro (1963: 32-33) menuntut delapan syarat untuk membuat definisi ilmiah yang tepat, yaitu:
- Di dalam definisi itu tidak boleh mengulang kata atau nama yang harus diterangkan (didefinisikan),
- Pernyataan definisinya tidak boleh negatif, melainkan harus positif (bukan pernyataan yang menyangkal),
- Di dalam definisinya tidak boleh ada pernyataan bertentangan,
- Definisi harus menerangkan keseluruhan aspek yang terkait, tidak hanya bagiannya saja yang diceritakan,
- Jangan menggunakan ibarat,
- Sifat-sifat yang tidak menentukan jangan dimasukkan ke dalam definisi itu,
- Sifat-sifat yang menentukan harus dirumuskan sependek mungkin,
- Definisi itu harus bias dibalikkan dengan tidak berubah artinya (definito sit convertibus).
Adapun wujud definisi itu sendiri memiliki ciri-ciri: (a) berbentuk pernyataan berupa kalimat yang terdiri dari anak kalimat, yaitu yang diterangkan dan menerangkan; (b) di antara kedua anak kalimat tersebut digunakan kata kopula (adalah atau ialah); (c) uraiannya bersifat teoritis dan abstrak.
Dari uraian tersebut dapat diketahui definisi dari jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga terjadi perubahan sikap, sifat, dan perilaku khalayak sesuai dengan kehendak jurnalisnya.
Menurut Adinegoro dalam bukunya, publistik dan Djurnalistik (1963: 38) membedakan jurnalistik dan publistik dengan penegasan bahwa jurnalistik adalah kepandaian yang praktis, sedangkan publistik adalah kepandaian yang ilmiah. Sebagai kepandaian praktis, jurnalistik adalah salah satu obyek di samping obyek-obyek lainnya dari ilmu publistik, yang mempelajari seluk beluk penyiaran berita-berita dalam keseluruhannya dengan meninjau segala saluran, bukan saja pers, tapi juga radio, televisi, film, teater, rapat-rapat umum dan sebagainya.
Astrid S Susanto dalam bukunya Komunikasi Massa (1986: 73) mendefinisikan jurnalistik sebagai kejadian pencatatan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari. Menurut Onong Uchjana Effendy (1981: 102) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat.
A W Widjaja (1986: 27) menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu yang secepat-cepatnya. Mantan Pimpinan Umum harian Indonesia Express, Djen Amar (1984: 30) mendefinisikan jurnalistik sebagai kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
Webster’s World University Dictionary menjelaskna jurnalistik sebagai “The occupation of editing and writing for newspaper and magazines” (Adams, 1965: 529). Sebaliknya Ensiklopedi Indonesia menerangkan jurnalistik sebagai bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala dengan menggunakan sarana penerbitan yang ada.
Pada tahun 1950-an jurnalistik dikelompokkan (Shadily, 1982: 1609) sebagai:
1. Sarana (media):
a. Media cetak: jurnalistik harian, majalah dan Kantor Berita
b. Media elektronik: jurnalistik radio, televisi, dan film
2. Bidang kerja: dalam negeri, luar negeri, parlemen, ekonomi, keuangan, olahraga, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Rosihan Anwar (1974: 10) dalam bukunya yang berjudul Ihwal Jurnalistik, menceritakan bahwa di Amerika Serikat ada orang-orang yang mengatakan bahwa jurnalism is not a game, kewartawanan itu bukan suatu permainan. Ia mempunyai tujuan sosial yang serius
Dengan menggunakan kemerdekannya, pers di amerika merupakan senjata yang paling berkuasa untuk menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, membetulkan apa yang salah dan yang tidak adil, serta memerangi kejahatan. Sejak tahun 1917 masyarakat pers Amerika memberikan hadiah Pulitzer kepada mereka yang menulis berita-berita atau cerita-cerita yang memberikan inspirasi dalam membokar korupsi, membela orang-orang yang tidak bersalah, dan mempertahankan hak asasi manusia (HAM).
Guru besar bidang jurnalistik pada Universitas New York, F Fraser Bond (1961: 1), menyatakan bahwa kini istilah jurnalistik mengandung makna semua usaha di mana dan melalui mana berita-berita serta komentar-komentar tentang suatu kejadian sampai kepada publik.
Menurutnya, semua peristiwa di dunia yang kejadiannya menarik perhatian publik, serta merupakan pendapat, aksi, maupun buah pikiran, akan merangsang seorang wartawan untuk meliputnya guna dijadikan bahan berita. Dikutipnya pula pendapat Leslie Stephens yang menyatakan bahwa jurnalistik merupakan penulisan tentang hal-hal yang penting dan tidak kita ketahui.
Seorang redaktur majalah Time, Erik Hodgins, menyatakan bahwa jurnalistik sebagai pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama dan cepat dalam membela kebenaran dan keadilan berpikir, yang selalu dapat dibuktikan.
Dari semua pendapat dari para pakar mengenai definisi jurnalistik, ternyata tidak terlepas dari ciri utamanya yang hakiki bagi jurnalistik yang dimaksudkannya, yaitu keterampilan atau seni menyusun pemberitahuan, penyampaiannya yang menarik perhatian, serta bertujuan mempengaruhi khalayak atau publiknya.
Dari semua pendapat yang berbeda tersebut, dapat disimpulkan bahwa jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan khalayaknya. Indah di sini punya arti dapat diminati dan dinikmati sehingga bisa mengubah sikap, sifat, pendapat, dan tingkah laku khalayaknya.
Sejarah Perkembangan Jurnalistik
Perkembangan jurnalistik dimulai dari perkembangan publistik sebagai pengetahuan kemasyarakatan dalam bidang pernyataan antar manusia. Namun, gejalanya sudah tampak. Berdasarkan pada sifat manusia yang selalu menghubungkan diri dan mencari hubungan dengan sesama serta lingkungannya, menunjukkan bahwa karya publistik itu mempunyai usia yang sama dengan umur manusia itu sendiri.
Adapun usaha untuk melaksanakan hubungan antar manusia di antaranya adalah saling menyatakan atau menyiarkan dan saling menerima gerak kehendak serta cipta rasanya masing-masing hingga dalam perkembangan peradabannya timbul berbagai macam pengetahuan, seperti: ilmu retorika, ilmu tulis menulis, karang mengarang, penerangan, propaganda, seni drama, dan sebagainya.
Perkembangan serta pertumbuhan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut menggunakan perkembangan dan kemajuan keperluan manusia terhadap hubungan dan pengertian satu sama lainnya, atau terhadap rasa dan kesadaran bermasyarakat.
Hanya ilmu sejarahlah kiranya yang pertama-tama dapat memperlihatkan adanya gejala kemasyarakatan sebagai wujud dari berlangsungnya hubungan antar manusia itu. Pertama sekali para sejarawan memperhatikan bahwa zaman dahulu kala ada orang yang khusus melakukan pekerjaan sebagai perantara dalam hal melaksanakan komunikasi antar manusia itu.
Untuk memenuhi keperluan orang terhadap kabar atau berita tentang orang lain atau keadaan di sekelilingnya, ataupun di tempat lain, terdapat orang-orang khusus yang melakukan pekerjaan dalam hal mencari berita atau kabar untuk disampaikan kepada orang-orang yang memerlukannya.
Willem Haversmit (1885: 3), melalui bukunya De Courant, mengingatkan kita pada orang Babylonia di mana menurut catatan Flavius Josephus, mereka telah memiliki para penulis sejarah yang bertugas menyusun cerita tentang kejadian sehari-hari dan kemudian menyiarkannya kepada orang lain.
Jauh sebelum itu, para ahli sejarah tersebut menuturkan hasil penyelidikannya yang bersandar pada buku Perjanjian Lama (Genesis 8 ayat 10-12), di mana dikisahka bahwa sewaktu di dunia ini turun hujan lebat tujuh hari tujuh malam terus menerus, timbulah air bah yang memusnahkan segala makhluk hidup dan semua tanaman sebagai pidana Tuhan terhadap kejahatan dan dosa manusia. Bandingkan dengan Al-Quran (surat Nuh ayat 25 dan surat Hud ayat 37-45).
Sebelum Allah Swt menurunkan hujan yang sangat hebat kepada kaum kafir, maka datanglah malaikat utusan Allah Swt kepaa Nabi Nuh agar ia memberitahukan cara membuat kapal sampai selesai. Kapal itu cukup untuk dipergunakan sebagai alat ebakuasi oleh Nabi Nuh beserta sanak keluarganya yang saleh dan segala macam hewan masing-masing satu pasang.
Tidak lama kemudian, seusainya Nuh membuat kapal, hujan lebat pun turun berhari-hari tiada henti, badai dan angin menghancurkan segala yang ada kecuali kapal yang dibuat oleh Nuh. Saat itu Nuh dan orang-orang yang beriman beserta hewan-hewan menaiki kapal tersebut.
Waktu terus berganti, namun air tetap menggenang dalam, seolah tidak berubah sejak semula. Sementara itu seluruh penumpang kapal mulai khawatir dan gelisah karena persediaan makanan mulai menipis. Semua penumpang mulai mempertanyakan mengenai keadaan daerah mereka. Guna memenuhi keinginan para penumpang, Nuh mengirimkan seekor burung dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya makanan.
Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air dan mencari makanan, tapi hasilnya sia-sia. Burung itu hanya melihat ranting pohon zaitun yang tampak muncul di permukaan air. Ranting itu pun dipatuknya dan dibawanya pulang ke kapalnya. Atas datangnya burung dara itu dengan membawa ranting itu, Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan masih tertutup air, sehingga burung itu tidak menemukan tempat beristirahat. Demikianlah kabar itu disampaikan kepada seluruh penumpang.
Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari dan penyiar kabar yang pertama di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari berita itu, menunjukkan bahwa kantor berita pertama kali di dunia adalah kapal Nuh.
Data selanjutnya, diperoleh para sejarah negara Romawi pada permulaan berdirinya kerajan Romawi. Pada masa itu para pejabat tinggi kerajan Romawi (Imam Agung) mencatat segala kejadian penting yang diketahuinya pada annales (papan tulis yang digantungkan di serambi rumahnya). Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberithauan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Pengunguman sejenis itu dilajutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannnya. Caesar mengungumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-perturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya, dengan cara menuliskannya diatas papan tulis yang pada masa itu (60SM) dikenal dengan acta diurna dan diletakkan di Forum Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. semua berita di Acta diurna tersebut boleh dibaca dan dikutip untuk kemudian disebar luaskan ke tempat lain.
Praktik jurnalistik demikian kemudian dikembangkan oleh para budak belian orang-orang Romawi kaya, yang diberi tugas untuk mengumpulkan berita setiap hari. Para budak belian ini dijuluki denga istilah diurnarius atau diurnarii. Dalam hal ini tampak pertumbuhan jurnalistik beserta jurnalisnya yang sedikit profesional.
Ahli sejarah yang bernama Tacitus mengatakan bahwa dalam kegiatan jurnalistik selalu terjadi hal-hal berikut:
- Pada umunya publik tidak begitu senang terhadap berita-berita sensasi yang berlebihan.
- Sejak dulu primeur journalisticus (memperoleh produk jurnalistik paling awal) merupakan syarat terpenting dalam karya penyiaran atau pemberitaan.
- Sejak dulu pula abone (pelanggan) yang rewel itu ada.
Ada pun mengenai pemilihan dan penyusunan beritanya, Bascwitz (1949: 14) mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa berdasarkan isinya acta diurna tidak menunjukkan sifat-sifat resmi yang mutlak. Hanya saja, yang merupakan isi utamanya adalah mambatasi diri pada penyajian berita-berita saja.
Umur acta diurna “hanya” mencapai lima abad. Setelah kerajaan Romawi runtuh, maka hilang pula acta diurna. Namun demikian dari hasil penelitian sejarah mengetahui bahwa pada permulaan pertumbuhannya jurnalistik berjalan dengan kondisi sebagai berikut:
- Subjek penyajiannya berupa pemerintah. Yang menyelenggarakan penyiaran lewat acta diurna adalah kerajaan.
- Jurnalis atau wartawannya, sebagai perantara dalam penyiaran, terdiri dari mereka yang mencari dan menyiarkan berita dengan memperoleh upah.
- Alat penyiarannya berupa papan pengunguman (acta diurna) dan catatan-catatan para jurnarius yang diperbanyak, serta pemberitaan lisan dari para jurnarius tersebut.
Sejak hilangnya acta diurnia hingga kira-kira tahun 1000 SM, para ahli sejarah Eropa mengenal praktik pemberitaan berupa kirim mengirim surat, antar biara, istana, dengan perantara kurir. Sedangkan untuk kalangan rakyat biasa dikenal adanya minstreel (penyanyi keliling) yang membawakan nyanyian dalam bentuk lagu atau syair rakyat yang berisi informasi tentang peristiwa yang terjadi di tempat lain.
Setelah tumbuh perkembangan surat menyurat antar kaum politisi, cendikiawan, dan para pedagang baik dengan rekan-rekannya di dalam negeri maupun di luar negeri, mulai timbul perbaikan terhadap ritme kecepatan dan keaktualan berita-beritanya. Biasanya para pedagang menyertakan berita-berita lain yang terkadang secara tidak langsung dapat bermanfaat bagi usaha mereka. Kemudian rekannya menerima dan memperbanyak serta meneruskan berita tersebut kepada relasi yang lain. Demikianlah selajutnya surat-surat pedagang itu menjadi surat perkabaran walaupun masih sederhana.
Lonjakan terbesar di bidang jurnalistik pada tahun 1791 saat Revolusi Prancis berkobar. Suratkabar yang muncul bersifat selebarab yang dikeluarkan oleh tokoh politik, namun penguasa negara merasa khawatir. Kebebasan pers ditentang, ribuan wartawan masuk penjara, sementara 70 orang lainnya mengalami hukuman guillotine (hukum pancung).
Satu-satunya negara yang memberikan kebebasan pers adalah Inggris sejak tahun 1695 di mana Raja Willem III mencabut ketentuan wajib adanya lisensi perusahaan suratkabar. Perkembangan ini pun menjadi pendorong pertumbuhan suratkabar di negara-negara Eropa lainnya.
Untuk sampai menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat akademis, jurnalistik berkembang dengan munculnya mata kuliah tentang persuratkabaran yang disebut Zeitungskunde di Universitas Bazel (Swiss) tahun 1884 oleh Karl Bucher. Jejak Bucher diikuti oleh Max Weber, ia menyatakan bahwa kenyataannya modal dan pemilik modal sangat penting bagi kehidupan persuratkabaran. Penting dalam arti perhitungan ekonomis dan redaksionalnya.
Sebagai lembaga sosial, Max Weber mengatakan, suratkabar memiliki kepribadiannya sendiri. Dalam hal ini yang ditonjolkan bukan pribadi masing-masing wartawannya, melainkan karya atau ideologi mereka yang mewarnai suratkabarnya pada umumnya berprinsip anonimitas.
Wilbur Schramm melalui uraiannya mengenai “The Nature of Mass Communication” dalam bukunya, The Process and Effects of Mass Communication. Ia menyebut institutionalized person sebagai sifat kelembagaan suratkabar itu. Menurutnya, by an institutionalized person we have his editorial colums through the facilities of institution and with mean such a person as the editor of a newspaper, who speaks in more voice and prestige than he would have if he was speaking without the institution.
Sejak dikenalnya ilmu publistik, jurnalistik dan pers pun berkembang sejalan dengan perkembangannya. Dalam praktiknya kini telah banyak penerbitan suratkabar terkenal, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Juga lembaga-lembaga penyiaran seperti kantor-kantor berita, stasiun-stasiun radio ataupun televisi dan film, yang jauh lebih maju dalam perlengkapan instrumennya, jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Dalam memelihara kelestarian kemajuan jurnalistik dan pers, terdapat lembaga Internasional Federation of Newspaper Publisher yang bertugas menjamin kepentingan etika dan ekonomi suratkabar. Juga ada Internasional Federation of Jurnalism (IFJ), yang bertugas meningkatkan standar mutu profesi jurnalistik, mempertahankan kemerdekaan pers, dan memberikan sumbangan terhadap perkembangan pers di negara-negara berkembang.
International Film and Television Council (IFTC) bertugas memajukan usaha negara anggotanya dalam hal perfilman dan penyiaran melalui televisi disamping diadakan tukar menukar informasi.
Hubungan Jurnalistik Dengan Pers
Dalam kehidupan sehari-hari istilah jurnalistik jarang kita dengar. Kita lebih sering mendengar istilah pers, apabila terkait dengan kegiatan yang ada hubungannya dengan jurnalistik. Istilah pers berasal dari bahasa asing (Bahasa Inggris). Dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah persen. Aslinya pers ditulis press, yang berarti ‘percetakan’ atau ‘mesin cetak’. Mesin cetak inilaha rupanya yang memungkinkan terbitnya suratkabar, sehingga orang mengatakan pers itu untuk maksud persuratkabaran.
Dari gambaran tersebut terdapat dua pengertian umum dari pers. Pertama, secara sempit, pers dimaksudkan sebagai persuratkabaran. Kedua, secara luas pers mengandung arti suatu lembaga kemasyarakatan yang menjalankan kegiatan jurnalistik.
Semua komentar tentang suatu peristiwa di dunia baik itu merupakan pendapat maupun kejadian akan selalu menarik perhatian. Karena itu Leslie Stephens mengatakan bahwa jurnalistik terdiri dari penulisan tentang hal-hal yang penting dan belum Anda ketahui (Bond, 1961: 1).
Para ahli filsafat menyatakan bahwa pers sebagai suatu kegiatan pemberitahuan tentang apa-apa yang diharapkan umum kepada umum. Menurut mereka karya pers adalah melayani umum dalam memberikan kenyataan-kenyataan yang seharusnya diperoleh rakyat, sebab kenyataan-kenyataan itulah yang akan memberikan kemerdekaan kepada rakyat.
Dalam hal ini kedudukan pers lebih tinggi dan penting, karena yang dimaksudkan dengan istilah kemerdekaan dalam pernyataan tersebut tidak hanya berarti kemerdekaan fisik saja, melainkan juga mencakup kemerdekaan psikis (jiwa).
Hal demikian jelas terlihat dalam fungsi pers Indonesia (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 setelah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982) yang menetapkan bahwa Pers Nasional mempunyai fungsi kemasyarakatan, pendorong, dan pemupuk daya pikiran kritis dan konstruktif-progresif, yang meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia (Effendy, 1983: 693).
Dari pernyataan tadi, dapat disimpulkan bahwa secara luas pers merupakan sutau lembaga kemasyaraatan yang kegiatnnya melayani dan mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam organisasinya, pers akan menyangkut segi-segi isi dan akibat dari komunikasi yang melibatkannnya. Baik suratkabar, radio, maupun televisi dalam kegiatannya sebagai komunikasi massa.
Demikain pula akibat dari penerbitan atau penyiaran akan tercakup dalm segi-segi kegiatan pers itu. Baik itu berupa artikel, foto atau musik dan drama yang ditayangkan melalui televisi atau diperdengarkan melalui radio akan selalu membawa perubahan situasi dan kondisi kepada khalayakya. Perubahan dimaksud akhirnya akan membuahkan suatu opini publik, secara langsung atau pun tidak. Apapun yang terjadi, sudah tentu menjadi tugas dan kewajiban pers untuk menyiarkan kembali kepada khlayak.
Pers sangat erat kaitannya dengan jurnalistik. Pers sebagai media komunikasi massa tidak akan berguna apabila semua sajiannya jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya karya jurnalistik tidak akan bermafaat tanpa disampaikan oleh pers sebagai medianya. Pers adalah media khusus untuk digunakan dalam mewujudkan dan menyampaikan karya jurnalistik kepada khlayak.
Secara sempit pers adalah suatu wadah penyajian karya jurnalistik yang berupa informasi, hiburan ataupun keterangan dan penerangan. Sedangkan jurnalistiknya merupakan kejuruan atau keahlian dalam mewujudkan informasi, hiburan ataupun keterangan dan penerangan dalam bentuk berita, tajuk, kritik, ulasan, ataupun artikel-artikel lainnya.
Secara luas pers dan jurnalistik merupakan satu kesatuan (institusi) yang bergerak dalam bidang penyiaran informasi, hiburan ataupun keterangan dan penerangan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya sehari-hari.
Kesatuan dimaksud merupakan unit kerja dari seluruh komponen yang bersangkutan dalam bidang penyiaran. Jadi, merupakan suatu organisasi penyiaran yang meliputi unsur-unsur manusia, biaya, bahan-bahan, mesin-mesin, metode kerja, dan pemasaran hasil karyanya. Bahkan lebih luas lagi menyangkut segi akibat dari hasil karya organisasi tersebut timbul dalam masyarakat sebagai opini publik dengan segala bentuknya.
Share
4 komentar:
We [url=http://www.onlineroulette.gd]casinos[/url] be subjected to a ample library of utterly unsolicited casino games in regard to you to challenge privilege here in your browser. Whether you want to practice a table recreation master plan or scarcely attempt elsewhere a some original slots before playing seeking legitimate filthy lucre, we possess you covered. These are the claim same games that you can treat cavalierly at real online casinos and you can play them all representing free.
Since internet has spread around the world, people in the age are familiar with shopping on-line. The [url=http://www.longchampsaclongchamps.com/]Sac Longchamp[/url]
internet has many of [url=http://www.longchampsaclongchamps.com/]Longchamp[/url]
the best longchamp bag world wide. Everything you should do is shop around enough on the web for the best prices on various type of [url=http://www.longchampsaclongchamps.com/]Longchamp[/url]
it.
|
Aftershokz trekz titanium - Titanium Arts
The Aftershokz trekz titanium was introduced to the world by the band damascus titanium of miners in May of titanium forging 1594. With the babylisspro nano titanium hair dryer new project they were able how strong is titanium to titanium cup
cq849 replica handbags,fake designer bags,replica handbags,replica bags designe,replica handbags,louisvuittonfakebag,fake bags,replicabagsnow,replica handbags ya475
Posting Komentar